Ungkapan Bahasa
Bermakna Budaya dalam Tradisi Sumolo
Etnik Tontemboan.
(Di bawah komisi bimbingan Prof. Dr. M. Salea-Warouw sebagai Ketua; Prof. Dr.
A. J. Danie dan Dr. Leika M. V. Kalangi sebagai anggota)
Manusia merupakan sumber dan objek dari
realisasi suatu bahasa. Melalui bahasa, setiap ide, gagasan, dan akal budi
secara konsisten dapat dibentuk, dikomunikasikan dan dimengerti di antara
pemakai bahasa itu, karena itu bahasa dikatakan sebagai alat komunikasi yang
universal dan dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat dengan ciri dan
kekhasannya sendiri. Etnik Tontemboan memiliki konvensi bahasanya sendiri.
Salah satu gagasan yang tercipta dari masyarakat Tontemboan sehingga terbentuk
sebuah tradisi budaya, yakni tradisi sumolo.
Tradisi sumolo merupakan peristiwa
budaya (bersifat ritual) yang dilakukan pada saat rumah baru selesai dibangun.
Tradisi ini menjadi syarat bagi setiap keluarga yang akan menempati rumah baru
itu. Acaranya dipimpin oleh seorang tona’as
walian. Sebagian realisasi bahasa dalam tradisi sumolo tentu mengandung ungkapan bahasa yang bermakna budaya.
Proses
penelitian mengacu pada metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
linguistik antropologi. Data yang diperlukan, dijaring melalui penggunaan metode
SLC, yang dilakukan melalui percakapan dengan informan. Selain itu digunakan metode SPEAKING dari
Hymes. Teknik bertanya diangkat dari Spradley. Kemudian data dinalisis dengan
cara menampilkan data, memilah data yang dianggap bermakna budaya, mengklasifikasikan
ungkapan bermakna budaya, serta menjelaskan bentuk linguistik dan makna
budayanya. Sumber data penelitian ialah para tokoh adat yang terhimpun dalam Pakasaan Tumontemboan.
Hasil
dekripsi penelitian ditemukan bahwa ungkapan bahasa dalam tradisi sumolo direalisasikan dalam bentuk
ungkapan verbal dan nonverbal. Praktis bahwa ungkapan-ungkapan yang diujarkan, baik lahir dari
konsep pemikiran (otok manusia) maupun konsep yang dirujuk dari sebuah
pemanfaatan materi/benda alam sekitar sebagai simbol, lalu masuk ke dalam otak
dan dicernak, kemudian diproduksikan kembali dalam bentuk bahasa ujar (verbal),
tenyata direalisasikan dalam sistim satuan-satuan lingual yang bermakna, yang
terdiri dari kata, frase, klausa, dan kalimat. Satuan-satuan lingual ini memiliki makna lebih dari sekedar makna
leksikal atau makna luar, yang disebut ungkapan. Ungkapan ini dalam perspektif
linguistik antrpologi disebut makna budaya. Khusus pada ungkapan bahasa verbal
memiliki kategori pengetahuan budaya berupa: (1) Tokoh yang berperan dalam
acara tradisi sumolo, (2) Permohonan
/ permintaan restu dari pemiliki rumah kepada tona’as / walian, (3) Pemohonan/Permintaan melalui Doa ‘mo’wey’/‘mangilek’ untuk mendapatkan perlindungan dan berkat dari Amang Kasuruan / Opo Wailan Wangko, dan (4) Petua/Nasihat ‘sisinow/paturu’an’. Sedangkan pada ungkapan bahasa nonverbal
berfokus pada pengggunaan benda/materi alam sekitar.
ii
|
mantap artikelnya..
BalasHapuswww.kiostiket.com