Sabtu, 06 Oktober 2012

Tradisi Sumolo Etnik TONTEMBOAN


Ungkapan Bahasa Bermakna Budaya dalam Tradisi Sumolo Etnik Tontemboan. (Di bawah komisi bimbingan Prof. Dr. M. Salea-Warouw sebagai Ketua; Prof. Dr. A. J. Danie dan Dr. Leika M. V. Kalangi sebagai anggota)

            Manusia merupakan sumber dan objek dari realisasi suatu bahasa. Melalui bahasa, setiap ide, gagasan, dan akal budi secara konsisten dapat dibentuk, dikomunikasikan dan dimengerti di antara pemakai bahasa itu, karena itu bahasa dikatakan sebagai alat komunikasi yang universal dan dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat dengan ciri dan kekhasannya sendiri. Etnik Tontemboan memiliki konvensi bahasanya sendiri. Salah satu gagasan yang tercipta dari masyarakat Tontemboan sehingga terbentuk sebuah tradisi budaya, yakni tradisi sumolo. Tradisi sumolo merupakan peristiwa budaya (bersifat ritual) yang dilakukan pada saat rumah baru selesai dibangun. Tradisi ini menjadi syarat bagi setiap keluarga yang akan menempati rumah baru itu. Acaranya dipimpin oleh seorang tona’as walian. Sebagian realisasi bahasa dalam tradisi sumolo tentu mengandung ungkapan bahasa yang bermakna budaya.
            Proses penelitian mengacu pada metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan linguistik antropologi. Data yang diperlukan, dijaring melalui penggunaan metode SLC, yang dilakukan melalui percakapan dengan informan.  Selain itu digunakan metode SPEAKING dari Hymes. Teknik bertanya diangkat dari Spradley. Kemudian data dinalisis dengan cara menampilkan data, memilah data yang dianggap bermakna budaya, mengklasifikasikan ungkapan bermakna budaya, serta menjelaskan bentuk linguistik dan makna budayanya. Sumber data penelitian ialah para tokoh adat yang terhimpun dalam Pakasaan Tumontemboan.
            Hasil dekripsi penelitian ditemukan bahwa ungkapan bahasa dalam tradisi sumolo direalisasikan dalam bentuk ungkapan verbal dan nonverbal. Praktis bahwa ungkapan-ungkapan yang diujarkan, baik lahir dari konsep pemikiran (otok manusia) maupun konsep yang dirujuk dari sebuah pemanfaatan materi/benda alam sekitar sebagai simbol, lalu masuk ke dalam otak dan dicernak, kemudian diproduksikan kembali dalam bentuk bahasa ujar (verbal), tenyata direalisasikan dalam sistim satuan-satuan lingual yang bermakna, yang terdiri dari kata, frase, klausa, dan kalimat. Satuan-satuan lingual ini  memiliki makna lebih dari sekedar makna leksikal atau makna luar, yang disebut ungkapan. Ungkapan ini dalam perspektif linguistik antrpologi disebut makna budaya. Khusus pada ungkapan bahasa verbal memiliki kategori pengetahuan budaya berupa: (1) Tokoh yang berperan dalam acara tradisi sumolo, (2) Permohonan / permintaan restu dari pemiliki rumah kepada tona’as / walian, (3) Pemohonan/Permintaan melalui Doa ‘mo’wey’/‘mangilek’ untuk mendapatkan perlindungan dan berkat dari Amang Kasuruan / Opo Wailan Wangko, dan (4) Petua/Nasihat ‘sisinow/paturu’an’. Sedangkan pada ungkapan bahasa nonverbal berfokus pada pengggunaan benda/materi alam sekitar.
ii
            Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa tradisi sumolo merupakan kekayaan lokal yang memiliki nilai-nilai luhur (filosofi) yang dapat melandasi prilaku hidup manusia. Secara khusus ungkapan-ungkapan bermakna budaya dalam tradisi ini memiliki ciri-ciri, yakni: (1) memiliki rasa hormat yang dalam terhadap pemimpin yang telah ditetapkan, (2) meyakini adanya Tuhan yang maha kuasa sebagai sumber berkat, (3) meyakini hidup itu memerlukan perjuangan dan kebaikan, saling menghormati dan membantu satu sama lain, (4) pemanfaatan sumber alam sekitar mencerminkan sebuah hubungan timbal balik antara alam dan manusia. Ada interpretasi dari informan yang perlu diteliti lebih dalam sehubungan dengan tindak ujar (bersifat pragmatik) pada saat realisasi ungkapan yang ada. Mengingat tradisi sumolo memiliki rangkaian acara syukur lainnya, yakni rumamba’ belum disentuh maka perlu untuk ditindaklanjuti sebagai usaha penelitian lanjutan.

1 komentar: